Ada banyak alasan di balik perasaan bahagia seseorang. Begitu pun dengan kesengsaraan, juga memiliki sebab utama mengapa bisa datang dalam kehidupan. Namun, baik bahagia atau pun sengsara sejatinya dua hal ini berkaitan erat dengan sikap yang kita terapkan. Sayangnya, tak banyak yang menyadari hal ini hingga pada akhirnya sering kali menyalahkan orang lain atas kondisi yang menimpa diri kita. Pada kenyataannya, segala hal yang terjadi dalam hidup entah itu kebaikan atau keburukan tidak akan pernah terlepas dari apa yang kita lakukan. Agar tak lagi mencari kambing hitam, ada baiknya jika umat Islam kembali memahami hal yang sering terlupakan. Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan,
“Menyikapi takdir Allah dengan rida merupakan sebab kebahagiaan. Sedangkan menyikapi takdir-Nya dengan murka merupakan sebab kesengsaraan.” (Madarijus Salikin: 2/202)
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu, ada alasan di balik perasaan bahagia sekaligus sengsara yang dialami manusia. Sayangnya, hal ini sering kali dianggap sepele sehingga kebanyakan di antara kita tetap melakukannya dan tidak berkeinginan untuk berubah. Pada kenyataannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menaruh kedua jenis perasaan tersebut pada hati manusia. Rasa bahagia biasanya timbul dari cara kita menyikapi setiap takdir Allah dengan senantiasa rida. Hal ini sejatinya adalah wujud dari sikap qanaah yakni menerima ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lapang dada. Qanaah juga menjadi tanda dari wujud syukur kita terhadap hal-hal yang Allah tentukan, entah baik atau buruk.
Sikap ini berhubungan erat dengan keikhlasan menerima takdir. Semakin ikhlas seseorang, maka semakin mudah ia merelakan. Tak ada kekesalan dalam hal ini yang tentunya memudahkan kita meraih kebahagiaan. Sebaliknya, sebab dari kesengsaraan adalah tindakan menyikapi takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan murka. Orang-orang seperti ini biasanya tidak rela jika keburukan menimpanya padahal Allah yang menetapkan segalanya. Tak sekedar marah-marah, mereka yang enggan memelihara sikap qanaah terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala biasanya juga gemar menyalah-nyalahkan orang lain terhadap situasi dan kondisi yang telah menimpa dirinya.
Amarah tersebut tentu akan selalu meresapi hati dan pikirannya sehingga membuat orang tersebut tidak tenang. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi pemicu utama perasaan sengsara dan sulit mencapai rasa bahagia dalam hidupnya. Oleh karena itu, sebagai umat yang beriman sudah sepatutnya kita menghargai apa yang Allah takdirkan dalam hidup kita. Meski sulit menerimanya ketika kesedihan datang, namun berusahalah untuk tetap bersabar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk senantiasa bersama dengan kita. Semoga, dengan semua usaha ini kita bisa meraih kenyamanan hidup yang kita impi-impikan karena segala bentuk perasaan senang sejatinya juga bagian dari rezeki yang dititipkan Allah dalam hidup kita.