Membelanjakan harta untuk manfaat umum yang berkepanjangan menjadi salah satu amalan yang tidak terputus pahalanya. Langkah ini tentu juga sering kita kenal dengan sebutan wakaf. Mewakafkan harta atau benda nyatanya tak dapat dilakukan begitu saja. Ada beberapa rukun yang wajib dipenuhi untuk memastikan keabsahannya.
Rukun yang pertama tentu saja diperlukan adanya waqif, yakni orang yang berwakaf. Menjadi waqif juga harus memenuhi beberapa syarat terutama tengah dalam keadaan merdeka. Tidak hanya itu, waqif hendaknya juga sudah baligh, berakal sehat, dan tidak merasa terpaksa untuk berwakaf.
Selanjutnya, rukun yang kedua tentu saja keberadaan harta yang diwakafkan. Harta ini dikenal juga dengan sebutan mauquf. Terkait syaratnya, mauquf seharusnya memiliki manfaat yang baik dan tahan lama. Bahkan tidak juga diperbolehkan adanya status kepemilikan, tidak diwariskan, dan juga tidak boleh diberikan atau dijual pada siapa pun.
Sementara, untuk rukun yang ketiga adalah keberadaan pihak yang menerima manfaat wakaf atau disebut juga dengan mauquf ‘alaih. Biasanya terdapat dua jenis mauquf ‘alaih, yakni mu’ayyan dan ghairu mu’ayyan. Mu’ayyan adalah penerima manfaat wakaf dari sekelompok orang tertentu. Sedangkan ghairu mu’ayyan maknanya lebih kepada penerima manfaat dalam kategori umum.
Rukun yang terakhir adalah sighot atau ungkapan akad wakaf. Ungkapan akad ini biasanya juga disertai dengan perbuatan tertentu untuk mencegah aset dimiliki sesuai dengan adat yang berlaku. Jika sighot telah diucapkan oleh waqif lengkap dengan niat berwakaf maka saat itu juga wakaf telah berlaku yang berarti pemanfaatannya pun telah beralih pihak.