Salah satu bentuk perayaan umat Islam terhadap berakhirnya masa puasa Ramadhan adalah melantunkan takbir. Hal ini juga dipahami sebagai wujud syukur pada Ilahi karena telah mampu menyelesaikan berbagai kewajiban di bulan suci ini. Takbir memang sejatinya dapat dilakukan secara berjamaah maupun sendiri. Namun, jika mengikuti kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya takbir dilakukan dalam hati.
Sebagaimana diriwayatkan dalam suatu hadist bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Hadist di atas menjelaskan tentang cara utama melantunkan takbir selepas Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukannya pada saat akan menunaikan sholat sunnah Idul Fitri sembari berjalan menuju lapangan atau masjid. Ketika sholat akan segera dimulai, beliau berhenti dari takbirnya. Hal ini sejatinya menandakan bahwa takbir adalah bentuk penyambutan 1 Syawal yang dilakukan secara pribadi dengan mengagungkan kebesaran Allah.
Perkara ini sangat utama mengingat bahwa makna Ramadhan hendaknya mampu diserap oleh masing-masing pribadi umat Islam. Ramadhan haruslah dimanfaatkan sebagai momen untuk merubah diri ke arah yang lebih baik. Salah satu cara yang dianjurkan adalah dengan tetap mempertahankan kebiasaan-kebiasaan di bulan suci di bulan-bulan setelahnya. Meski pun begitu, sejatinya tidak ada larangan untuk melantunkan takbir secara bersama-sama. Hanya saja, hendaknya makna dari takbir itu sendiri harus dapat diserap dengan baik oleh setiap umat Muslim.