Takbiran menuju hari raya Idul Fitri dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap kesempatan yang telah Allah Ta’ala berikan untuk beribadah di bulan Ramadhan. Meski pada dasarnya hal ini sering dikaitkan sebagai perayaan kemenangan umat Islam, namun sejatinya ada beberapa hal yang tetap perlu diperhatikan. Berikut poin-poin utama yang wajib digaris-bawahi terkait takbiran Idul Fitri.
Cara melantunkan takbir
Takbir sejatinya dapat dilakukan baik secara pribadi maupun berjamaah. Melakukannya pun bisa di mana saja, baik di rumah mau pun di masjid. Hal ini sebagaimana Al-Imam Asy-Syafi’i berkata,
“Maka apabila mereka melihat hilal bulan Syawwal, aku sangat menganjurkan agar manusia bertakbir secara berjemaah atau sendiri-sendiri di masjid, pasar-pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, musafir dan muqim di seluruh keadaan dan di manapun mereka berada untuk menampakkan takbir.” (Al-Umm : 1/231)
Suara lantunan takbir yang dianjurkan
Takbir Idul Fitri dilakukan sebagai bentuk untuk mengagungkan asma Allah. Dapat dimengerti bahwa takbir adalah bagian dari dzikir. Maka dari itu, terdapat perbedaan level suara antara mengumandangkan takbir dan adzan. Takbir, meski pun dilakukan secara berjamaah sejatinya tidak dianjurkan menggunakan pengeras suara. Hal ini berbeda dengan adzan yang memang dikumandangkan agar didengar oleh semua orang.
Takbir Idul Fitri berhenti ketika imam sholat Ied naik ke atas mimbar
Khusus untuk Idul Fitri, takbiran tidak dianjurkan dilakukan setelah sholat Ied. Bahkan, bentuk lantunan untuk mengagungkan asma Allah Ta’ala ini biasanya berhenti setelah imam sholat Ied naik ke atas mimbar. Ibnul Mulaqin mengatakan:
“Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)