Abu Ubaidah bin Jarrah termasuk dalam Assabiqunal Awwalun. Memiliki nama lengkap Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, salah satu dari sepuluh sahabat Rasul yang dijamin masuk Surga ini merupakan sosok dengan kepribadian yang mulia, yakni terpercaya dan berani tapi juga lemah lembut dan tawadhu. Ia menjalani kehidupan dengan cara yang sangat sederhana namun kaya akan manfaat.
Hal ini terbukti melalui keteguhan hatinya yang sangat tinggi dalam mengimani agama Allah. Meski mengalami penindasan yang sangat kejam dari kaum kafir Quraiys Makkah, ia tetap setia menjadi pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat Perang Badar terjadi, Abu Ubaidah bin Jarrah tak ragu melawan kemusyrikan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala meski yang tengah dilawannya adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya.
Berkat keteguhan hatinya terhadap agama Islam tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat al-Qur’an,
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujaadalah: 23)
Turunnya ayat tersebut tidak membuat Abu Ubaidah bin Jarrah tinggi hati. Sebaliknya, ia justru semakin tawadhu bahkan sangat pemalu. Sifatnya ini membuat banyak orang menaruh kepercayaan pada dirinya, tak terkecuali Rasulullah. Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallalahu’alaihi wa sallam berkata,
“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang yang dipercaya, dan orang yang dipercaya umat ini adalah Abu Ubaidah Al Jarrah.”
Sepeninggalan Rasulullah, masa kekhalifahan akhirnya dimulai. Pada saat itu, kepercayaan umat yang tinggi terhadap Abu Ubaidah Al Jarrah sempat membuat dirinya masuk dalam nominasi kekhalifahan bersama Abu Bakar Ash Shiddiq. Namun, sifatnya yang tawadhu menolak hal tersebut dan justru setia menjadi pendukung utama setiap gerakan dan hal yang diputuskan oleh khalifah. Setelah khalifah Abu Bakar wafat, kepemimpinan diteruskan oleh Umar bin Khathab.
Di saat yang bersamaan, Abu Ubaidah Al Jarrah menjadi panglima perang tentara Muslimin. Ia diutus untuk menaklukan wilayah Syam (Suriah). Kekuatan yang dimilikinya mampu menjadi penyebab takluknya wilayah Syam di bawah kekuasaan Islam, mulai dari tepi sungai Furat di sebelah timur hingga Asia kecil di sebelah utara. Sayangnya, tak lama kemenangan tersebut diraih, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan cobaan berupa wabah di wilayah Syam.
Dalam menghadapi wabah ini, Abu Ubaidah Al Jarrah begitu memegang teguh pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah bersabda,
“Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid)
Maka dari itu, sesuai dengan hadist di atas Abu Ubaidah Al Jarrah tetap bertahan di wilayah Syam meski telah mendapatkan perintah untuk kembali dari Umar bin Khathab yang diketahuinya melalui surat yang dikirimkan padanya. Ia pun membalas surat dari Umar bin Khathab tersebut dan menulis,
“Sungguh aku mengerti kebutuhanmu (menyuruhku kembali), maka bebaskan aku dari kekuasaanmu (mengundurkan diri dari jabatan). Karena aku bersama pasukan muslim (di sini), aku tidak ingin (berpisah) dari mereka” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 1, h. 18-19)
Umar bin Khathab pun menangis membaca balasan surat Abu Ubaidah. Tak lama setelah itu, sang kepercayaan umat pun wafat terkena wabah ‘Amwas. Ia pergi bersama ribuan pasukannya yang juga mengalami hal serupa. Imam al-Marwazi berkata:
“Diperkirakan bahwa Abu ‘Ubaidah bersama 36.000 pasukan, (dan) tidak bertahan (hidup) kecuali (sekitar) 6000 orang” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 1, h. 18-19)