3 Tanda Seseorang Telah Menikmati Manisnya Keimanan

Keimanan seseorang memang tidak dapat kita nilai. Bahkan pada diri sendiri pun kita tak berhak melakukannya. Bukan tanpa alasan, pasalnya yang berhak menilai kedalaman dan kekokohan iman seseorang hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal tersebut memang sudah menjadi kekuasaan-Nya. Maka dari itu, hendaknya kita patut menjaga keimanan tersebut. Sejatinya, bukan merupakan hal yang mudab untuk dapat selalu melakukannya. Namun, jika kita sudah berusaha tentu saja Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membukakan jalan bagi kita untuk menikmati manisnya keimanana.

Lantas, seperti apa kiranya manisnya iman? Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tiga perkara yang seseorang akan merasakan manisnya iman : [1] ia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lainnya, [2] ia mencintai seseorang hanya karena Allah, [3] ia benci untuk kembali pada kekufuran sebagaimana ia benci bila dilemparkan dalam neraka.” (HR. Bukhari, no. 6941 dan Muslim, no. 43)

Hadist di atas menjelaskan tentang tanda bahwa seseorang telah menikmati manisnya keimanan. Yang pertama, ia akan lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dibandingkan hal apa pun di dunia ini. Seseorang yang menikmati manisnya iman adalah mereka yang tak lagi peduli dengan kehidupan dunia kecuali dilakukan hanya untuk bertahan dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak hanya itu, manisnya iman juga bisa dirasakan apa bila kita telah mulai mencintai seseorang hanya karena Allah saja. Dengan mencintai karena Allah Ta’ala membantu kita untuk lebih mudah menjadi sosok yang tulus.

Kita tidak lagi mengharapkan cinta yang sama karena kita telah memahami bahwa cinta Allah lebih membahagiakan dari pada hal lainnya. Yang terakhir, seseorang yang berhak merasakan manisnya iman ditandai dengan kebenciannya untuk kembali pada kekufuran. Kekufuran sendiri adalah bentuk ketidak yakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang telah merasakan manisnya iman akan berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang menghalangi cinta dan kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dari itu, mereka yang berusaha menjaga keberadaan Allah dalam hati akan terhindar dari perbuatan maksiat.