Menjadi pemimpin sejatinya bukan sekedar perkara kewenangan atas kekuasaan semata. Pemimpin, terutama dalam ajaran agama Islam juga mengemban amanah yang biasanya berupa tanggung jawab terhadap apa dan siapa yang dipimpinnya. Kelak, hal ini akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya, seorang pemimpin diwajibkan untuk bisa memiliki kelapangan hati dalam mengurus dan menangani segala hal yang berkaitan dengan perkara banyak orang. Bahkan, seorang pemimpin juga wajib menjadi contoh yang baik bagi orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.
Bukan tanpa sebab, jika terdapat kezaliman yang dilakukan oleh seorang pemimpin akibat salah memanfaatkan kewenangannya maka ketahuilah bahwa kelak ia akan menerima azab dan kutukan dari Allah. Sebagaimana tertulis di dalam al-Qur’an bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (67) Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (68) [QS. Al Ahzaab: 67-68]
Ayat di atas menjelaskan tentang salah satu balasan yang akan diterima oleh para pemimpin yang berbuat zalim di dunia. Balasan tersebut sejatinya tidak datang langsung atas kehendak Allah. Sebaliknya, balasan yang akan diterima oleh para pemimpin zalim ini merupakan buah atau permintaan pertanggungjawaban dari orang-orang yang dipimpin olehnya yang semasa berada di bawah kepemimpinannya di dunia mendapat tindakan semena-mena. Tindakan yang dianggap semena-mena tersebut dapat beraneka ragam. Namun, perkara utama yang akan segera mendapat balasan azab dan kutukan adalah upaya menyesatkan.
Sudah sepatutnya seorang pemimpin dapat menjadi suri teladan dalam wujud manusia biasa. Dikarenakan kewenangan yang dimilikinya, para pemimpin bahkan diwajibkan untuk melindungi orang-orang yang dipimpinnya dari berbagai tindakan keji entah itu terkait perkara fitnah, munafik, dusta, dan sebagainya. Sebaliknya, apa bila seorang pemimpin justru menyalahgunakan kewenangannya untuk memeroleh kepentingan pribadi maka bersiaplah terhadap azab yang langsung diminta oleh orang-orang yang terzalimi pada Allah Ta’ala yang pernah berada di bawah kepemimpinannya di dunia. Mereka juga akan meminta Allah untuk mengutuknya.
Kedua balasan ini akan menjadi dua kali lipat akibat kesalahan yang dilakukan para pemimpin yang tidak amanah ini. Pertama, mereka akan dibalas akibat kesesatannya. Kedua, mereka akan dibalas akibat membawa orang lain menjadi sesat. Oleh karena itu, seorang Mukmin dilarang memanfaatkan kewenangan sebagai pemimpin untuk merugikan orang lain semata. Sebaliknya, pemimpin dalam Islam haruslah yang mampu menawarkan keadilan, perdamaian, dan juga keinginan untuk membawa orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya hidup semakin baik. Pemimpin seperti itulah yang akan mendapatkan manisnya Surga kelak.