Ketentuan Waktu Pembayaran Fidyah yang Perlu Diperhatikan

Ketidakmampuan seseorang dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan membuat mereka wajib membayarnya dengan fidyah. Perbuatan yang dikenal dengan aktifitas memberi makan orang-orang miskin ini memang sangat dianjurkan pelaksanaannya sesegera mungkin. Meski pun begitu, sejatinya tidak ada ketentuan pasti terkait waktu utama dalam membayarkan fidyah.

Hal ini sebagaimana diketahui dalam al-Qur’an, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 184)

Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah kepada umatnya untuk dapat mengganti kewajiban puasa dengan membayar fidyah bagi mereka yang berat melakukannya. Terkait waktu utama untuk menunaikannya, tidak diketahui ketentuan pasti yang mewajibkan seseorang untuk segera membayarnya. Hal ini dapat diartikan bahwa fidyah bisa ditunaikan kapan saja tanpa ada batas waktu tertentu.

Di sisi lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya juga memerintahkan untuk senantisa suka rela dalam mengerjakan kebaikan. Perihal fidyah, tentu saja ada keutaman apa bila dilakukan melebihi dari jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Hal ini sejatinya merupakan kebajikan yang sangat utama mengingat makna fidyah juga berkaitan dengan peningkatan perekonomian umat Islam.

Meski pun begitu, Allah pun menilai bahwa mengganti puasa dengan meng-qada’nya di waktu lain tentu saja lebih utama. Hal tersebutlah yang sejatinya yang harus kita perhatikan. Bukan tanpa alasan, pasalnya kita dianjurkan untuk dapat memahami inti dari pesan atau makna kewajiban berpuasa, yakni menahan diri dari segala hal yang membatalkan. Di sinilah kesabaran sekaligus kelapangan hati seseorang diuji karena ibadah puasa memang ditujukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.