Keimanan seseorang sejatinya merupakan hal yang amat sakral. Bagaimana tidak? Iman sering kali dikaitkan dengan keadaan hati yang meyakini keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan senantiasa mematuhi perintah-Nya sekaligus menjauhi larangan-Nya. Maka dari itu, keimanan yang sebenarnya tidak akan pernah dapat dinilai meski pun terlihat saleh di depan. Bukan tanpa alasan, pasalnya hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang Maha Mengetahui bagaimana sebenarnya keadaan hati hamba-Nya yang sebenar-benarnya beriman.
Namun, jika boleh kita menilai kadar keimanan seseorang mungkin dapat terlihat dari cara ia memandang atau memutuskan sesuatu hal. Sebagaimana tertulis di dalam Al – Qur’an bahwasanya Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Hujuraat: 1]
Ayat di atas menjelaskan tentang salah satu peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum Muslimin dan Muslimat yang wajib ditaati. Tepat sekali, Allah menyatakan bahwa sebaiknya umat Islam tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam perkara memutuskan sesuatu hal yang berkaitan dengan aturan agama. Dalam perkara ini, umat Islam harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunah-sunah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Bukan tanpa sebab, pasalnya hal ini dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya keadaan yang tak diinginkan.
Salah satunya adalah menyalahi atau bahkan bertolak belakang dengan ajaran agama Islam. Tak hanya itu, ketaatan kita pada perintah Allah dan kebiasaan yang dilakukan Rasulullah pun sejatinya merupakan tanda adanya keimanan dalam hati kita. Memang, sejatinya hal ini terbilang sulit untuk dipahami atau digambarkan. Namun, cara kita dalam bertindak hati-hati agar tidak menyalahi aturan agama Islam dapat dikategorikan sebagai tanda tegaknya keimanan dan keislaman. Begitulah sejatinya karakter yang harus ada dari seorang Mukmin agar tidak mudah terjerumus dalam kesesatan duniawi.