Beratnya Beban Ghibah dari pada Hutang

Saling mengunjungi kerabat atau sahabat menjadi bagian dari kebiasaan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Bukan tanpa sebab, pasalnya terdapat kebaikan yang bisa kita peroleh dari kegiatan tersebut. Tidak jarang kunjungan terjadi setelah sekian lama tanpa adanya pertemuan. Tentu saja kondisi ini membuat suasana semakin menyenangkan lantaran adanya perasaan saling merindukan. Meski pun demikian, kita perlu senantiasa memperhatikan tujuan utama dari pertemuan yang direncanakan. Bukan tanpa alasan, pasalnya sebagai bagian dari umat Islam memastikan bahwa pertemuan tersebut mendatangkan kebaikan adalah sebuah keharusan.

Sebaliknya, jika rencana kunjungan hanya ditujukan untuk membicarakan kekurangan atau kejelekan seseorang maka sebaiknya tidak perlu diteruskan. Selain tidak mendatangkan manfaat, pertemuan yang dilakukan untuk menciptakan bahan ghibahan adalah hal yang terbilang berat dibandingkan berhutang. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah berkata,

“Ghibah itu lebih berat daripada hutang. Karena hutang itu bisa dibayarkan sedangkan ghibah tidak bisa dibayarkan.” [Hilyat Al Auliyaa (7/275)]

Ghibah sendiri sejatinya merupakan tindakan membicarakan aib seseorang yang tidak ada dalam pembicaraan tersebut. Orang yang dighibahi tidak tahu kalau dirinya tengah dibicarakan. Hal ini lantaran sebagian besar hal yang dibahas adalah tentang segala sesuatu yang tidak disukai oleh orang tersebut. Namun, tak banyak yang mengetahu bahwa tindakan ghibah bahkan bukan sekedar ucapan saja. Hal ini dapat dilakukan juga dengan perbuatan, isyarat mata, atau bahkan tulisan. Menurut Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, dosa ghibah dinilai lebih berat dari pada hutang. Ungkapan ini digunakan mengingat bahwa orang-orang yang berghibah tidak dapat menebus dosanya seperti orang-orang yang berhutang. Tentu saja, dosa tersebut sangat berat dan termasuk dalam kategori besar.

Sebagaimana di dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan hamba-Nya untuk tidak membicarakan aib orang lain. Larangan ini juga berlaku dengan berbagai tujuan baik untuk mencari kesalahan seseorang atau hanya sekedar berprasangka saja. Seluruh hal tersebut adalah dosa besar. Bahkan, dosa ini dinilai sebagai perbuatan yang sangat buruk dan menjijikkan lantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan karakter orang yang berghibah seperti memakan daging saudaranya yang telah mati. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi kita untuk dapat menjauhi perbuatan buruk ini. Sebaliknya, rencanakanlah pertemuan dan perbincangan untuk saling bertukar pengalaman atau pikiran agar dapat membuahkan manfaat bagi sesama.