Puasa menjadi satu-satunya ibadah yang benar-benar ditujukan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana tidak? Saat menjalankan ibadah ini, seorang Mukmin wajib meninggalkan makan, minum, juga syahwat yang dirasakannya. Ketiga hal tersebut sejatinya merupakan jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Namun, orang-orang beriman merelakan sejenak untuk meninggalkan semua kebutuhan tersebut hanya untuk mentaati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dari itu, Allah juga telah berjanji untuk membalas sendiri pahala ibadah puasa yang ditunaikan oleh setiap hamba-Nya.
Sayangnya, pelaksanaan ibadah ini sering kali tak dibarengi dengan kepatuhan terhadap aturan. Hal ini membuat ibadah puasa yang ditunaikan menjadi sia-sia belaka. Maka dari itu, agar puasa kita tak hanya sekedar meninggalkan lapar dan haus saja, mari lengkapi kembali niat untuk tak hanya berpuasa tapi juga memelihara diri serta lisan dari berbagai hal keji. Sebagaimana diketahui dalam suatu hadist bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang berbunyi sebagai berikut ini,
“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” (Shahih Bukhari 1770)
Di antara banyak hal yang kerap terlupakan oleh kaum Muslimin dan Muslimat ketika menunaikan ibadah puasa adalah memelihara diri dan lisan dari hal-hal keji. Sering kali kita hanya fokus pada kewajiban untuk menahan lapar, dahaga, dan syahwat saja. Pada kenyataannya, makna ibadah puasa melebihi ketiga hal tersebut. Puasa adalah tentang ketaatan dalam menahan hal-hal yang membatalkan. Perkara yang membatalkan puasa pun tak sekedar makan, minum, dan juga bersyahwat. Ketika puasa, umat Islam juga dituntut harus mampu melindungi pahalanya dengan tidak berbuat dan berkata sembarangan yang menjadi sumber kekejian.
Pada hadist di atas bahkan tertulis bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan puasa seorang hamba yang tidak mampu menjaga sikap dan lisan. Hal ini menandakan bahwa ibadah tersebut yang dijalankan tanpa kesabaran dan upaya menahan diri dari yang membatalkan tertolak begitu saja. Maka dari itu, demi memaksimalkan pahalanya kita wajib berusaha meninggalkan setiap hal yang dilarang ini. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membatasi interaksi dengan orang lain. Tujuannya adalah bukan untuk menyombongkan diri. Sebaliknya, langkah ini diambil agar kita dapat terhindar dari peluang kemungkinan timbulnya hal-hal yang membatalkan. Semoga dengan langkah sederhana ini, diri kita dapat senantiasa terpelihara dari berbagai hal yang mengisyaratkan kekejian.