Bulan Ramadhan mengingatkan kita pada kewajiban menunaikan zakat fitrah. Tidak jarang, saat berupaya untuk membayarnya kita harus menemui seorang amil zakat. Pihak tersebut tentu sering kita pahami sebagai pengurus zakat. Namun, yang sering kali menjadi pertanyaan masyarakat awam adalah mengapa pengurus zakat juga berhak menerima zakat?
Hal ini sebagaimana diketahui dalam al-Qur’an bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 60)
Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa secara sederhana, amil zakat adalah orang-orang yang dipercaya untuk membina kepengurusan zakat. Peran mereka sangatlah penting. Bukan tanpa alasan pasalnya zakat harus dikelola secara khusus dan tepat. Pengelolaan dan penyalurannya juga harus dikerjakan oleh mereka yang cakap.
Dari Ibnu al-Saidi, ia berkata:
“Umar r.a menugaskan kepadaku untuk mengurus harta zakat maka tatkala selesai tugasku, beliau memberiku bagian dari harta zakat tersebut. Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku melakukan semua ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ Umar membalas, ‘Ambillah apa yang diberikan sebagai bagianmu, sesungguhnya aku juga menjadi amil zakat pada pada masa Rasulullah.” (HR. Muslim)
Dari hadist di atas, dapat kita ketahui agar tujuan dan manfaat zakat tersampaikan dengan baik pada orang yang tepat kita juga memerlukan kinerja pihak-pihak yang mumpuni dalam bidang ini. Itulah hal dasar yang menjadi alasan dominan mengapa seorang amil juga berhak menerima zakat. Hal tersebut dilakukan tentu saja sesuai kewajaran dan sebagai penghargaan atas kinerjanya dalam jalan Allah Ta’ala.