Salah satu keutamaan yang akan diperoleh umat Islam yang menunaikan ibadah haji adalah diampuni segala dosa-dosanya. Di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka akan kembali suci dari dosa seperti bayi yang baru saja lahir. Maka dari itu, sangat dianjurkan bagi umat Islam yang mampu untuk sesegera mungkin melaksanakan ibadah haji.
Hukum haji dalam kondisi ini adalah wajib ‘ain. Sebagaimana dalam al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97)
Melalui ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya yang masuk dalam kategori mampu untuk bisa melakukan ibadah haji. Kemampuan tersebut tentu saja diukur dari berbagai sisi. Tidak hanya itu, seperti dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar (hal. 173) kemampuan yang dimaksud adalah meliputi kecukupan harta, fisik, serta keamanan dalam perjalanan menuju Baitullah.
Harta mereka yang melakukan ibadah haji hendaknya harus cukup untuk perbekalan selama beribadah, nafkah bagi tanggungan yang ditinggalkan, dan juga simpanan untuk melanjutkan hidup setelah berhaji. Sementara dalam kategori fisik, hendaknya seseorang tidak melaksanakan haji dalam keadaan sakit atau tua renta yang mungkin menghalangi mereka dalam mencapai kekhusyukkan ibadah.
Dan yang terakhir, orang yang melaksanakan haji juga wajib memastikan keamanan mereka dalam melakukan perjalanan. Hendaknya, perjalanan harus aman dari kejahatan perampok, wabah, hingga perang. Dengan begitu, hukum haji menjadi wajib ‘ain bagi mereka yang mampu memastikan seluruh kondisi tersebut dapat ditangani dengan baik. Maka, sebaik-baiknya balasan bagi mereka yang berhaji karena Allah Ta’ala adalah diampuninya seluruh dosa-dosa.