Salah satu kunci terciptanya persatuan dan kesatuan umat Islam adalah keberadaan pemimpin yang baik. Bagaimana tidak? Pemimpin sendiri biasanya adalah orang-orang tertentu yang dipercaya oleh khalayak ramai. Kepercayaan tersebut membuat ia dapat terpilih untuk menjadi penggerak dan pengarah yang mampu menghidupkan semangat bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam Islam sendiri, penjabaran tentang pemimpin yang baik sangat luas dan mendalam. Namun, untuk memahaminya secara singkat dan sederhana kita perlu kembali pada titah yang sempat disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana diketahui dari Tsauban Radhiyallahu anhu yang berkata bahwasanya beliau pernah bersabda,
“Sesungguhnya yang aku khawatirkan pada umatku adalah imam-imam (tokoh-tokoh panutan) yang menyesatkan.” [HR Abu Dawud, no. 4252; Ahmad, 5/278, 284; al-Baihaqi, no. 3952. at-Tirmidzi, 4/504. Dinilai shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani)
Hadits diatas menjelaskan tentang kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya yang menjadi imam, tokoh panutan, atau bahkan pemimpin dalam sebuah negara. Kekhawatiran ini sekaligus menerangkan terkait salah satu kriteria utama dari pemimpin yang baik. Pemimpin sendiri hendaknya tidak menjadi sumber dari kesesatan.
Bukan tanpa sebab, pasalnya pemimpin yang sesat dapat menjerumuskan orang-orang yang dipimpinnya pada arah yang tidak semestinya. Terutama dalam Islam, seorang pemimpin harus mengedepankan langkah yang diambil dari pedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah. Upaya ini dapat meminimalisir timbulnya pemahaman yang tidak sesuai dengan dua pedoman utama umat Islam tersebut.
Tak hanya itu, pemimpin yang sesat kelak juga akan bertanggung jawab atas cara yang dimanfaatkannya dalam memimpin umat. Sebagian besar diantara mereka sudah pasti menggunakan upaya yang hanya dapat menghasilkan keuntungan bagi dirinya saja. Bahkan ada pula yang berpura-pura menjadi orang terpercaya hanya untuk mendapatkan simpati khalayak ramai.
Orang-orang seperti ini jika terpilih menjadi pemimpin maka ia akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Jika kejahatan tersebut menyesatkan dan merugikan banyak orang, maka perbuatannya akan dibalas oleh Allah Ta’ala di saat itu juga. Sementara, untuk kejahatan dan kesesatan yang ditujukan pada Allah maka dibalas kejam di akhirat kelak.